Cerpen Cerita Cinta Remaja Terbaru - Dunia remaja memang menyimpan sejuta impian. Kisah asmara yang melebur dengan kesucian hati menarik untuk dinikmati dalam rangkaian kata. Cerpen Cerita Tentang Kisah Cinta Remaja Terbaru ini terkait sosok cewek remaja yang polos namun kisah asmaranya berakhir bahagia. Coz love will find the way. Gitu kali ya bahasa inggrisnya :) Dan juga lupa untuk juga membaca Ramalan Cinta Tahun 2014 Berdasarkan Zodiak ya.
*****
Ara melihat Yuda di perpustakaan. Ah, lagi – lagi di situ. Kenapa nggak di kantin? Atau di depan pintu kelas bareng anak-anak lain, atau ikut keringetan di lapangan basket?
Ara sebel, kenapa Yuda nggak akayak anak yg lain sih? Kenapa dia ditakdirkan jadi cowok ganteng yang kutu buku dan teramat dingin begitu? Andai Yuda tidak seperti itu, mungkin Ara tidak seperti ini. Mencintai Yuda rasanya sia-sia, cowok itu terlalu sibuk dengan pacar-pacarnya…buku-buku!
“Mana kartunya,Ra?”
Ara kelakabakn. Matanya beralih dari Yuda ke Bu Tatik petugas perpustakaan. Wajahnya bersemu merah kepergok lagi ngeliatin Yuda.
“ Bu..jangan bilang-bilang ya?” Ara malu-malu. Bu Tatik jadi bengong.
“Kenapa,Ra?”
“Ah Ibu, tadi …saya ngeliatin seseorang…..”
“Oooo..si Kasim. Wah, tuh anak punya fans juga ya?” Bu Tatik tersenyum bijaksana.
Ganti Ara yang bengong. Dia mengikuti arah pandangan Bu Tatik. Di pojok ruangan ada si Kasim sedang membereskan buku-buku di rak. Idiiih.. Ara gondok. Tanpa ba..bi..bu lagi diraihnya buku yang baru dipinjam, langsung ngeloyor pergi.
“Cemberut aja, Ra!” Di pintu perpustakaan, Aldi mengejutkan.
“Jelek nggak?” tanya Ara cuek.
Aldi yang denger cuma nyengir. Di matanya Ara tidak pernah jelak. Apa lagi kalo mau jadi pacarnya. Wew…!
Tapi cewek lincah itu sudah melesat pergi, hanya kilauan rambutnya masih tertinggal di mata Aldi, sehingga Aldi menabrak Bu Tatik yang baru keluar dari perpustakaan.
“Ad..duh..sori,Bu, eh..maaf Bu, nggalk lihat..”Aldi membungkuk-bungkuk.
Bu Tatik mengleuh pendek, heran..dalam wakt yang tidak lama, banyak orang bengong yang dijumpainya. Bu Tatik sekali lagi ikut bengong.
***
“La, tadi di prpus saya ketemu Yuda.”
“Alaaah…ketemu gitu aja rame! Setiap hari juga ketemu di kelas!”
Lala meraih buku yang dipegang Ara. Sementara Ara bertopang dagu di depan Lala, sahabatnya.
“Mikirin Yuda?”
“Ssst..! Jangan keras-keras dong! Nggak bisa diajak joint venture,nih.”
Lala nyengir, “tadi saya ketemu Agil di kantin. Dia titip salam buat kamu.”
“He-eh. Berapa kilo?”
“Ara! Saya serius nih!”
“So am I…abis kamu sih..napsu banget jodohin saya sama Agil.”
“Aduh, Ara. Jangan kekang diri dengan cinta sebelah hati. Coba lihat sekeliling, masih banyak cowok-cowok yang lebih dari Yuda. Nggak lihat?”
“Norak ah! Kalo saya demen sama doi, emang kenapa? Kamu aja , La, yang sama Agil.”
“Nyindir nih? Kamu kan tahu saya naksir doi tapi doi naksir kamu. Jitak nih!”
Ara ngakak. Kenceng banget. Gokil tuh anak! Sebenarnya sih nggak lucu-lucu amat..tapi dasar aja Ara lagi pengen ketawa kenceng.
Seketika lala menendang kakinya. Ara heran, tumben-tumbenan Lalal nggak suka denger tawanya. Walau gitu, Ara spontan berhenti. Terlihat dari kejauhan Yuda berjalan menyusuri koridor kelas.
“Thanks,” ucap Ara lega. Deg-degan! Semakin hari semakin berkembang saja cintanya walau dia tahu mungkin akan sia-sia.
Dan seperti hari-hari kemarin yang ada hanya kebisuan antara Ara dan Yuda. Itulah resikonya kalo naksir, segala sikap jadi kaku. Bawaannya salah tingkah melulu.
“La, kalo saya cowok dan Yuda cewek, saya berani ngomong cinta duluan. Aneh deh…susah banget deketin doi. Gimana caranya ya?” Ara berbisik.
Sementara ambil berbagi perhatian ke papan tulis, Lala sibuk mikir. Uggh..ni anak kalo jatuh cinta suka nyusahin orang.
“Saya kan udah pernah bilang..deketin aja anaknya, ajak ngobrol, cari tahu hobinya..ya gitu deh!” Lala sudah mulai kessel. Seharian ini telinganya nyaris budeg denger nama Yuda disebut-sebut.
“Kamu bosen denger tentang Yuda melulu ya?”
“Iya.”
“Kalo gitu, kita ngomongin Agil aja. Gimana?”
“Dodol, Ara! Jitak nih!”
“Diih…daritadi beraninya ngancam aja. Buktiin dong, La!” Ara tahu lala nggak berani. Apa Lala mau tanggung jawab kalo Ara teriak-teriak? Alhasil lala cuma bisa nahan gondok.
****
Yuda memang belum lama jadi teman kelas Ara. Orangnya ganteng, tapi pendiam banget. Pendiamnya sampe ngalahin Ara kalo lagi bobok. Satu semester kelas tiga ini Ara kenal dia, tapi sungguh mati Ara belum pernah ngobrol dengan Yuda. Paling cuma dalam diskusi-diskusi atau kalau ada hal yang penting saja. Tadinya ra sebel banget dengan Yuda. Kata Ara, Yuda tuh sok cakep, sok pinter. Tapi lambat laun ada rasa lain yang menyusuri hatinya. Samapai dadanya mau meledak. Duoooor!!!
“Aduh, ngagetin aja nih!”Ara senewen.
“Ada gosip,ra. Tapi cuma buat kita berdua. Pokoknya happy deh!”
“Datang-datang langsung kayak gitu, salah minum obat ya, La?”
Lala celingukan sebentar, pagi-pagi begini kelas masih sepi. Dia merapatkan duduknya ke Ara.
“Kemarin tempat pensil saya kan ketinggalan, nah..trus..waktu saya balik ke kelas dan lewatin meja Yuda, saya nemu ini. Baca deh!”
Ara tidak langsung membuka lipatan kertas itu. Dia mengatur nafas sejenak. Selanjutnya dia terpaku, sibuk menbak nebak isi kertas itu.
“Ayo cepetan dibaca! Biar kamu nebak-nebak tetap gak berhadiah!”
Perlahan-lahan Ara membuka kertas itu, dan…
ARA-ARA-ARA-ARA-SAYA SUKA KAMU-SAYANG-ARA
Seketika Ara terbelalak, antara percaya dan tidak. Dia mengerjapkan mata. Ada rasa bahagia di dalam hatinya. Ara diam tak bergeming.
“Ra, Ara, kamu masih hidup kan? Duh, jangan bikin panik dong!”
“Saya cuma gak percaya,La. Bener! Saya belum yakin!” Ara kemudian melipat kertas itu. Dia nggak mau angan-angannya melambung terbawa perasaan.
“Ra, kita sama-sama tahu kalo ini tulisan tangan Yuda. Ada berapa Ara sih di sekolah ini? Cuma kamu kan? Saya juga gak bisa memastikan seperti kamu sendiri juga belum yakin. Tapi apa salahnya kalo kita coba melihat situasi. Mungkin dia naksir kamu, tapi nggak berani. Kamukan banyak banget yang naksir, dan Yuda pasti sadar dia jauh berbeda dari cowok-cowok itu. Kamu ngertikan, Ra?”
Ara langsung lemes. Dia menganggk tanpa suara. Kalau memang tulisan ini ditujukan kepadanya, Ara kecewa. Mengapa Yuda nggak berani bicara? Hanya bisa menulis di kertas coretan Matematika ini? Tapi bagaimanapun, Ara teramat menyukai Yuda.
****
Lima hari setelahnya Yuda nggak masuk sekolah karena sakit. Tetapi mengapa begitu lama? Ara cemas, apalagi sekarang ujian akhir sudah dekat. Tiga bulan bukan waktu yang lama untuk persiapan – apalagi pake acara sakit begini. Mana ulangan hatian juga bejibun.
Biasanya teman sekelas cepat menjenguk jika ada teman yang sakit. Tetapi kenapa sekarang kok slow- slow aja? Semua memnag tengah sibuk persiapan ujian, nggak ada istilah hura-hura lagi. Kesibukan yang didukung dgn tugas yang nggak tanggung-tanggung.
Ara ingin mencari tahu keadaan Yuda sejelasnya. Dia nggak peduli reaksi Yuda nantinya. Nggak peduli! Dia melakukan ini bukan untuk mencari perhatian Yuda. Bukan! Bukan suatu proaganda. Semua ini dia lakukan atas dasar ketulusan hatinya. Ara sadar betul bahwa ia menyayangi Yuda. Seandainya cowok itu bisa mengerti..atau paling tidak ia bisa bersikap ramah . Ah….
“Ra. Dah ngerjain tugas?” Lala mengejutkan.
“Perasaan saya nggak enak terus,La. Kayaknya Yuda nggak sakit biasa deh. Lima hari buat orng sakit kan lama juga,La.”
“Terus?”
“Saya mau cari tahu keadaan Yuda yang sebenarnya.”
“Caranya?”
“Telepon Harry. Kalo masih nggak jelas ya saya telepon langsung aja ke rumah Yuda.”
“Hmm…mengambil hati Yuda nih?”
“Enggak. Kalo niat gitu, kenapa saya nggak jenguk aja sendirian? Saya mau ngasih usul sekelas untuk nengok Yuda. Saya nggak berharap Yuda naksir saya setelah ini, Enggak,La.”
“Saya ngerti kok, saya bisa ngerasain. Kalo udah sayang berkorbanpun rasanya rela. Seandainya saya yang sakit, kamu juga akan seperti ini nggak,Ra?”
“Mau tahu jawabannya? Kamu sakit aja dulu barang lima hari , La. Ntar habis itu saya cuekin deh!”
lala mencubit lengan Ara. Senewen. Ara tertawa lepas. Alamak! Sudah berapa lama dia nggak tertawa begini?
***
“Duh Yuda…nggak ada kamu kelas kita jadi panas, habis gak ada si gunung es sihh!” Ira menggoda.
Wajah pucat di ruangan serba putih itu tersenyum lemah,tapi terlihat bahagia.
“Da, tahu nggak? Yang ingetin kami untuk jenguk kamu kan Ara. Maaf ya,Da. Kami terlalu sibuk dengan diri sendiri.” Bagus menimpali.
Mata bening yang tengah meredup itu menatap Ara sedetik! Seketik dada Ara bergemuruh. Mata itu..mata itu tidak menyinarkan kebencian seperti biasanya. Ah, itu hanya sebuah ucapan terimakasih, Ara pupuskan harapannya.
Mereka berpamitan satu persatu ketika jam besuk sudah berakhir. Ketika tangan Ara dijabat, ada keharuan pada mata gadis itu.
“Da, jangan mikirin ujian dulu. Yang penting kamu cepet sembuh. Kalo kamu nggak keberatan, saya mau bantuin kamu mengejar ketinggalan pelajaran.”
“Perhatianmu sudah lebih dari cukup,Ra. Saya nggak nyangka masih ada cewek yang baik hati terhadap saya. “
Meski terkejut dengan kalimat yang banyak mengandung arti itu, Ara menangkap nada yang tulus. Tetapi mata itu….ada sesuatu yang disembunyikan Yuda.
****
Ara rajin mengunjungi Yuda untuk membantunya mengejar ketinggalan pelajaran. Dengan sabar Ara membantu dan dengan tekun Yuda memperhatikan. Ara sadar sekarang dia begitu menyayangi Yuda, bukan lagi ambisi ingin menaklukkan di gunung es ini.
“ Ra, kenapa kamu begitu baik? Padahal saya paling sinis sama kamu.”
Kenapa begitu baik? Ara diam tak bergeming. Jawabannya ada di sini, Da. Di hati. Ah, kamu aneh, Da. Ara mengeluh pendek di dalam hati.
“Akhirnya saya percaya seseorang untuk menceritakan bagaimana saya sebenarnya.”
Ara tertarik, Yuda tampak sungguh-sungguh. Kini Ara berani menatap, walau nggak lama.
“Saya dulu nggak begini,Ra. Nggak sedingin ini, sesinis ini. Saya sama seperti yang lain. Tapi ketika seorang gadis memutuskan hubungan sepihak dan menyiksa saya dengan pemandangan bersama pacar barunya setiap hari di sekolah, saya jadi berubah.”
Ara deg-degan. Telinganya tegak mendengar kelanjutan cerita Yuda. Saya sakit hati,Ra. Sakit hati. Penh amarah . Saya ingin melupakan dia, tetapi rasanya sulit. Meski saya nggak cintai dia lagi, tapi kebencian ini membuat saya nggak bisa lupakan dia. Sebab itu saya memutuskan pindah ke rumah Paman, dan bersekolah di sini. Saya membenci semua cewek, terlebih sama kamu.”
Ara tersentak, “Why?”
“Karena nama gadis itu juga Ara, juga cantik, juga lincah, juga pandai. Saya benci dia ,ra. Saya ingin membalas sakit hati saya, tapi nggak bisa karena masih ada tersisa rasa sayang jika saya mau jujur.”
Ara tersandar dengan lemas, hatinya hancur seketika..remuk! Tahulah dia bahwa Yuda sebenarnya memang nggak pernah suka padanya. Kertas coretan itu? Ah..kertas coretan itu ternyata untuk Ara masa lalu Yuda. Ara hampir menangis….
“Tapi Ra, ketika cukup lama saya mengenalmu, merasakan semua perhatianmu…saya jadi suka sama kamu. Kamu nggak pantas untuk dibenci seperti yang selama ini saya tanamkan di dalam hati. Kamu tidak hanya pantas untuk disukai tetapi juga untuk dicintai. Ra…saya ingin…..”
Bertambah pedih hati Ara. Mengapa Yuda mesti berkata ini semua? Mengapa Ara mesti mendengar kata-kata ini di saat hatinya sudah remuk terlebih dahulu? Ara nggak mau jadi bayangan “Ara” masa lalu Yuda, Ara nggak mau!
“Ra..jangan dustai hatimu.”
“jangan pojokkan saya…” suara Ara mengambang.
“Saya sayang kamu ,ra. Beri saya kesempatan untuk membuktikannya.”
“Kita perlu waktu..perlu waktu.” Dan Ara tidak bisa lagi melanjutkan kalimatnya. Dia berlari meninggalkan kamar putih itu, meninggalkan beberapa buku dan cintanya yang terluka.
****
Tiga hari setelah peristiwa itu, Yuda mulai masuk sekolah. Ara senang melihat Yuda nggak ketinggalan pelajaran terlalu jauh namun hati Ara nyeri melihat perubahan Yuda sekarang. Kedukaan jelas tergambar di wajah itu. Tolong Ara, Tuhan…Ara ingin ada untuk Yuda, tetapi bayangan yang lain membatasi langkah Ara. Ada “Ara” yang lain.
“Buku kamu,Ra, yang tertinggal di rumah sakit.”
Ara tersentak, suara bariton yang begitu dikenalnya membuat buyar segala lamunan.
“Kenapa menghindar?”
Ara nggak bisa menjawab. Gugup!
“Saya masih menunggu jawabanmu,Ra.”
“Kita perlu waktu.”
“Itu bukan jawaban.”
Ara diam, menunduk.
“Saya ingin mendengar kata hatimu, perasaanmu, apapun itu, Ra.”
Mau jujur atau berdusta keduanya nggak mampu Ara lakukan. Bibirnya terkunci.
“Makasih buku ini,Da.”Ara beranjak meninggalkan Yuda yang duduk tepat di depannya di dalam perpustakaan.
“Ra, saya datang baik-baik, begini caramu meninggalkan saya?” Yuda bertanya setengah kecewa, seketika Ara membatalkan niatnya dan kembali duduk perlahan.
“Apakah pertanyaan saya terlalu berat buatmu? Apapaun jawabnmu saya terima, Ra. Yang paling menyakitkan sekalipun.”
Terdesak begini Ara berniat berlalu dari hati Yuda. Ara takut, Yuda membayangi dirinya dengan masa lalunya bersama “Ara” yang lain.
“Saya cuma bisa kembalikan kertas coretanmu ini yang ditemukan Lala. Saya tahu sekarang bahwa “Ara” yang dimaksud bukan saya. Ini sudah menjawab pertanyaanmu tadi.”
Yuda segera meraih dan membaca. Matanya terkejut kemudia ada senyum di sana.
“Ini bkan Ara siapa-siapa..Ini Ara kamu, Ara Melania. Saya berusaha melawan perasaan saya terhadap kamu. Saya pengecut, takut ditolak dan sakit hati lagi. Tapi sikapmu mengajarkan saya untuk dewasa, untuk bisa menghadapi kepahitan apapun.”
“tapi ada Ara yang lain,” potong Ara pelan. Banyak sekali nada kekhawatiran dari suaranya. Sadar begitu, Ara jadi malu sekali. Dia menunduk semakin dalam.
“Kita sama-sama saling sayang, jangan biarkan “Ara” yang lain atau siapa saja memberi jarak pada hati kita. Pulang sekolah nanti, aku antar pulang ya?”
Ara menganggk. Kepolosannya memberikan penyelesaian yang manis. Kertas coretan itu disimpannya lagi, tidak hanya di kantong baju melainkan juga di lipatan hati.
****
Karya: Susy Ayu
Bagaimana sobat Blog Remaja bagus ya Cerpen (Cerita Pendek) Cinta Remaja Terbaru di atas. Jangan takut untuk mengejar cinta karena ia patut untuk diperjuangkan. Tetap semangat :)
CERPEN Cerita Cinta Remaja Terbaru - Dari Jendela Hati
Posted by , Published at 10:32 PM and have 0 commentsBlog Remaja Suka
Published: 2013-12-23T22:32:00+07:00
Title: CERPEN Cerita Cinta Remaja Terbaru - Dari Jendela Hati
Rating:
Link Post: https://remajasuka.blogspot.com/2013/12/cerpen-cerita-cinta-remaja-terbaru-dari.html
No comments:
Post a Comment